Islam Nusantara adalah Islam yang lahir dan tumbuh dalam balutan
tradisi dan budaya Indonesia, Islam yang damai, ramah dan toleran. Gus Dur dengan
gagasannya "Pribumisasi Islam" menggambarkan Islam Nusantara sebagai
ajaran normatif yang berasal dari Tuhan, kemudian diakulturasikan ke dalam kebudayaan
yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Islam
Nusantara berdiri di antara dua paham yang bersebrangan yaitu Liberalisme dan
Fundamentalisme.
Islam Nusantara memiliki lima karakter khusus yang membedakannya
dengan Islam Arab ataupun Islam lain di dunia. Lima karakter tersebut yaitu
pertama, kontekstual, yaitu Islam dipahami sebagai ajaran yang bisa disesuaikan
dengan keadaan zaman. Kedua, toleran. Islam Nusantara mengakui segala bentuk ajaran
Islam yang ada di Indonesia tanpa membeda-bedakannya. Ketiga, menghargai
tradisi. Islam di Indonesia merupakan hasil akulturasi antara budaya lokal
dengan ajaran Islam. Islam tidak mengahapus budaya lokal, namun memodifikasinya
menjadi budaya yang Islami. Keempat, Progresif. Yaitu suatu pemikiran yang
menganggap kemajuan zaman sebagai suatu hal yang baik untuk mengembangkan
ajaran Islam dan berdialog dengan tradisi pemikiran orang lain. kelima,
membebaskan. Islam adalah sebuah ajaran yang mampu menjawab problem-problem
dalam kehidupan masyarakat. Islam tidak membeda-bedakan manusia. Dalam kacamata
Islam, manusia dipandang sama, yaitu sebagai makhluk Tuhan. Islam Nusantara
adalah cerminan dari ajaran Islam yang membebaskan pemeluknya untuk mencari
hukum dan jalan hidup, menaati atau tidak, dengan catatan semua pilihan ada konsekuensinya
masing-masing.Kelima karakteristik tersebut pada akhirnya akan membentuk sebuah
ajaran Islam yang moderat, yaitu suatu ajaran yang lebih mementingkan
perdamaian, kerukunan, dan toleransi dalam beragama tanpa menghilangkan
nilai-nilai Islam di dalamnya. Islam moderat merupakan ciri khas dari
keberislaman bangsa Indonesia, yang berbeda dengan keadaan Islam di Arab atau
belahan dunia lainnya. Islam di Indonesia adalah Islam yang aman, damai dan sejahtera.
Aman dalam artian tidak terdapat konflik yang sampai mengancam stabilitas agama
dan negara, walaupun tidak menafikkan adanya gesekan-gesekan yang berujung
konflik. Damai dalam konteks masyarakat Indonesia yang multikultural, terdiri
dari berbagai ras, agama dan budaya yang beragam. Sejahtera yang merupakan
manifestasi dari kehidupan yang aman dan damai tersebut.
Moderasi Islam lahir sebagai solusi anti mainstream Islam yang akhir-akhir
ini kian menghawatirkan dan membahayakan akidah umat Islam, baik di Indonesia
maupun Dunia. Rasulullah saw. pernah bersabda "bahwa umat Islam akan
terpecah ke dalam 73 golongan dan hanya ada satu yang akan selamat, yaitu
ahlusunnah wal jama’ah." Hadis
Rasulullah saw. tersebut sudah terbukti kebenarannya dengan terpecahnya umat
Islam ke dalam beberapa golongan yang kita kenal dengan aliran Kalam. Sejarah perkembangan
aliran kalam dimulai sejak peristiwa tahkim yang melahirkan tiga sekte baru
dalam Islam yaitu Khawarij, Syi’ah dan Murji’ah. Tiga sekte Islam tersebut
dibahas dalam sebuah kajian ilmu, yaitu Ilmu Kalam. Ada dua aliran Kalam yang
sangat mendominasi pemikiran Islam dari dulu hingga sekarang, yaitu
Mu’tazilah11 dan Asy’ariyah. Mu’tazilah merupakan aliran kalam terbesar dan
tertua dalam sejarah Islam. Aliran ini berdiri pada permulaan abad ke-2
Hijriyah di Basrah. Nama Mu’tazilah sendiri sebenarnya bukan berasal dari golongan
Mu’tazilah, namun orang-orang dari golongan lain yang memberi nama Mu’tazilah.
Orang Mu’tazilah sendiri menamai kelompoknya dengan sebutan "Ahli keadilan
dan keesaan" (ahlu adli wa at-tauhid). Adapun alasan kenapa kelompok lain menamainya
dengan sebutan Mu’tazilah, karena Wasil bin Ata’ sebagai pendiri aliran ini
berselisih paham dengan gurunya yaitu Hasan al-Basri, kemudian Wasil bin Ata’
memisahkan diri dari pemahaman gurunya dan mendirikan sebuah pemahaman baru. Kemudian
Hasan al-Basri berkata "Wasil telah memisahkan diri dari kami", maka
semenjak itu Wasil bin Ata’ disebut "Golongan yang memisahkan diri"
(Mu’tazilah).Sementara itu aliran Asy’ariyah lahir sebagai reaksi dari aliran Mu’tazilah.
Nama Asy’ariyah diambil dari nama pendirinya yaitu Abu al-Hasan Ali bin Ismail
Al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 260 Hijriyah. Al-Asy’ari pada
mulanya menganut paham Mu’tazilah, ia berguru pada tokoh Mu’tazilah, yaitu Abu
Hasyim Al-Jubba’i yang merupakan ayah tirinya. Al-Asy’ari menganut paham
Mu’tazilah sampai pada usianya yang ke-40 tahun, semenjak itu ia sering
merenung sendirian dan membandingkan pemikiranpemikiran Mu’tazilah dengan
pemikirannya. Tidak lama kemudian Al-Asy’ari mengumumkan di hadapan orang-orang
Mu’tazilah di Basrah, bahwa ia telah meninggalkan aliran Mu’tazilah dengan menyebutkan
kekurangan-kekurangannya. Perlu diketahu bahwa aliran Asy’ariyah merupakan
aliran yang berdiri di antara golongan rasionalis 15 dan tekstualis16.
Al-Asy’ari sebagai pendiri dari aliran Asy’ariyah berusaha mengambil jalan tengah
dari dua pemikiran yang berlawanan itu. Al-Asy’ari menyadari betul bahwa kedua
paham tersebut sangat berbahaya terhadap stabilitas umat Islam waktu itu, yang
bisa menghancurkan mereka kalau tidak segera diakhiri. Ia sangat menghawatirkan
alQur’an dan Hadis menjadi korban pemahaman aliran Mu’tazilah yang
ditentangnya, karena aliran Mu’tazilah memahami Al-Qur’an dan Hadis berdasarkan
pemujaan terhadap akal-pikiran. Lain hal nya dengan Mu’tazilah, Al-Asy’ari juga
sangat menghawatirkan AlQur’an dan Hadis dipahami oleh golongan tekstualis,
yangmemahaminya dengan pemikiran yang sempit, sehingga dikhawatirkan umat Islam
menjadi taqlid buta yang tidak dibenarkan oleh agama Islam. Al-Asy’ari berusaha
mengambil jalan tengah di antara dua pemikiran tersebut, maka terbentuklah
suatu paham baru yaitu Asy’ariyah, dan ternyata paham ini dapat diterima oleh
mayoritas umat Islam di Dunia termasuk Indonesia.
Islam di Indonesia adalah Islam yang menganut paham Asy’ariyah atau
ahlusunnah wal jama’ah. Ada dua organisasi Islam yang menjadi ciri khas dari
keberislaman di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kedua
organisasi Islam tersebut memiliki ciri khas masing-masing. Nahdlatul Ulama memiliki
ciri khas pesantren dan ulama, sedangkan Muhammadiyah memiliki ciri khas
sebagai lembaga pendidik yang handal dan telah banyak melahirkan
cendekiawan-cendekiawan muslim. Baik Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah,
keduanya menganut paham Islam yang moderat. Nahdlatul Ulama dengan basis
pesantren dan ulamanya menjadi benteng pertahanan yang kokoh untuk menangkal
paham liberal atau kebebasan. Sementara Muhammadiyah dengan basis kaum
inteleknya diharapkan mampu membawa Indonesia kepada kemajuan dan kejayaan,
serta meninggalkan paham Fundamentalis yang sangat mengancam kemajuan suatu
bangsa, karena memiliki pemikiran yang sempit dan taklid buta. Islam di
Indonesia juga merupakan Islam yang ramah dan santun. Hal ini tergambar dalam
individu muslim di Indonesia yang senantiasa hidup bergotong royong dalam
masyarakat, saling membantu antar sesama, dan saling menghargai perbedaan (toleransi),
serta menghormati kyai dan ulama, yang tergambar dalam sosok santri di
Indonesia. Itulah beberapa bukti konkret bahwa Islam di Indonesia adalah Islam
yang damai, ramah dan santun, atau dalam kata lain Islam moderat.
Posting Komentar