BREAKING NEWS

Nahwu

Arab

Islam

Sejarah Perkembangan Ilmu Nahwu

 


            Jika mukjizatnya orang Yunani adalah filsafat, maka mukjizatnya orang Arab adalah bahasa Arab, begitu kata al-Jabiri dalam bukunya yang fenomenal Takwi n al-'Aql al-Arabi. Awal mula perkembangan nahwu berasal dari Basrah, hingga meluas ke Kufah, Bagdad, Andalusia, dan Mesir. Dari kelima mazhab ini, mazhab Bashrah dan Kufah yang paling berpengaruh dalam sejarah perkembangan ilmu nahwu.

Aliran Basrah dan Kufah merupakan dua aliran yang paling berpengaruh, karena keduanya mempunyai otoritas dan independensi yang tinggi, kedua aliran tersebut juga mempunyai pendukung yang banyak dan fanatik, sehingga mampu mewarnai aliran-aliran berikutnya. Adapun tiga aliran yang lain disebutnya sebagai aliran turunan yang berinduk pada salah satu aliran utama atau merupakan hasil paduan antara keduanya.

1. Mazhab Basrah

Basra atau al-Basrah (البصرة ) adalah kota terbesar kedua di Irak, terletak sekitar 545 km dari Bagdad. Awal berdirinya Basrah dimulai pada abad 16. Pertumbuhan ilmu nahwu secara pesat di Basrah, terdapat empat faktor, diantaranya:

(1) Letak geografis yang strategis dan berada di pinggir pedalaman, seringkali dijadikan tujuan para ilmuwan melakukan perjalanan, seperti: Khalil bin Ahmad, Yunus bin Habib, Nadarbin Syamil, dan Abu Zaid al-Ansari. Adakalanya mereka bertemu penduduk asli atau membawa orang badui ke kota.

(2) Stabilitas masyarakat, di Basrah tidak ada konflik politik, pergeseran antar mazhab, dan kerusuhan antar kelompok sosial.

(3) Pasar Mirbad, dulunya pasar mirbad terbatas untuk perdagangan unta. Namun, seiring berjalannya waktu, pasar tersebut digunakan untuk ajang orasi puisi. Penamaan Mirbad karena unta tersebut ditinggalkan. Oleh karena itu tempat untuk menambatkan unta disebut Mirbad. Pasar ini dapat menyaingi para penyair di Ukaz.

(4) Masjid Basrah, digunakan untuk pengajian ilmiah, seperti kajian tafsir, ilmu kalam, dan bahasa.

Mazhab Basrah adalah mazhab yang dianggap tertua dalam aliran-aliran nahwu yang ada. Hal ini karena embrio ‘Ilmu Nahwu’, kelahiran hingga pertumbuhannya bermula dari kota tersebut. Berbagai teori dan prinsip-prinsip ilmu tersebut juga digagas dan muncul dari sana. Para tokoh terkemuka perintis awal seperti Abu alAswad al-Du’ali hingga tokoh terkemuka cabang pengetahuan ini semisal Khalil bin Ahmad al-Farahidi, Sibawaih dan lainnya juga tinggal di kota tersebut.

2. Mazhab Kufah

Kufah (الكوفة (merupakan sebuah kota di Iraq. Terletak 10 km di timur laut Najaf dan 170 km di selatan Bagdad. Mazhab nahwu Kufah baru muncul sekitar 100 tahun. Hal ini disebabkan ulama Kufah lebih konsen pada ilmu keislaman, seperti fikih, hadis, qira'at dibanding ulama Basrah yang serius mendalami ilmu nahwu. Mazhab Kufah lebih unggul dari mazhab Basrah dalam bidang pen-syairan. Selain itu, metode yang dipakai oleh mazhab Kufah adalah studi lapangan. Artinya para ulama nahwu Kufah memperhatikan kalam Arab yang sehari-hari mereka gunakan, kemudian mereka menggunakan gaya bahasa/ uslub yang mayoritas masyarakat Arab dipakai. Hal ini berbeda dengan mazhab Basrah yang lebih ketat, mereka lebih menggunakan akal, menggunakan mantiq serta sumber-sumber filsafat.

Sedangkan Abd al-‘Al Salim Mukrim menyimpulkan ciri khas nahwu yang diusung mazhab Kufah sebagai berikut22: (a) Menjadikan berbagai dialek Arab yang bertahan di daerah pedalaman sebagai rujukan tau dalil konsep bahasa. (b) Menjadikan kasus berbahasa yang meskipun kurang populer (jarang terjadi) sebagai qiyas atau rujukan dan alasan konsep mereka. (c) Menjadikan puisi baik puisi pada zaman pra Islam (Jahiliyah) maupun puisi pada masa Islam sebagai rujukan konsep bahasamereka meskipun mereka hanya menemukan sebuah bait puisi saja. (d) Merujuk pada berbagai macam atau ragam bacaan (al-Qira ’a t) yang telah ada. (e) Merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an dalam porsi yang lebih besar daripada mazhab Basrah.

3. Mazhab Bagdad

Selain dua kota Basrah dan Kufah yang menjadi pusat kebudayaan dan intelektual Irak, saat itu muncul sebuah kota baru yang menjadi pesaing pusat intelektual dua kota yang telah berdiri lebih dahulu, yaitu kota Bagdad. Kota Bagdad ini didirikan dan dibangun oleh al-Manshur Billah Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthallib atau yang lebih dikenal dengan nama Abu Ja’far al-Manshur, khalifah kedua dinasti Abbasiyyah. Namun sebenarnya rencana pendirian kota teresebut telah dicanangkan oleh saudaranya Abul Abbas al-Saffah, dan pembangunannya dimulai pada tahun 125 hijriah dan mulai ditempati pada tahun 129 H.

Imigrasi para intelektual ke Bagdad ini dimulai oleh para intelektual Kufah yang memang jarak antara kedua kota tersebut relatif lebih dekat dari pada jarak antara Basrah dengan Bagdad. Mereka yang berimigrasi ke Bagdad ini oleh para penguasa diberi posisi terhormat dan sangat dihargai yang pada akhirnya bukan saja penghormatan tinggi ini dirasakan oleh para intelektualnya, tetapi sekaligus juga mengangkat citra dan pamor mazhab Kufah yang selama ini kalah citranya dengan mazhab Basrah.

Menyaksikan realitas ini, maka para intelektual Basrah pun banyak yang berminat meninggalkan kotanya untuk mencari posisi dan penghormatan seperti yang telah diraih oleh rival mereka dari Kufah. Hal ini tentu semakin meramaikan kota Bagdad, khususnya di aspek keintelektualan. Pada mulanya para intelektual imigran dari dua kota yang telah lama bersaing itu, membawa bendera dan segala keciri khasan masing–masing kota asalnya dan tetap mengembangkan persaingan yang telah lama ada sebelum akhirnya sama-sama menyadari perlunya mengakhiri persaingan tersebut di kota baru mereka.

4. Mazhab Andalusia

Ketika Islam masuk di Andalusia terlebih dahulu masyarakatnya belajar dan mengajarkan bahasa Arab. Aktivitas ilmiah baru terasa ketika bergantinya daulah Umayah di Andalusia (sekarang Spayol) diprakarsai oleh Abdurrahman al-Da khil pada tahun 138 H. Orang-orang Andalusia melakukan perjalanan ke Timur untuk mencari ilmu.

Nahwu yang berkembang di Andalusia semula adalah mazhab Kufah dan baru di penghujung abad ke tiga hijriah mazhab Basrah banyak mendapat perhatian, menyusul kemudian nahwu mazhab Bagdad juga mendapatkan pengaruhnya di sana. Namun demikian, oleh karena di Andalusia pada saat yang bersamaan juga sedang berkembang pengetahuan spekulatif (filsafat, manthiq dan kalam), maka nahwu mazhab Basrah yang memiliki karakter rasional lebih diminati dan lebih berkembang dibanding nahwu model mazhab Kufah. Bahkan nahwu yang berkembang di Andalusia yang kemudian menjadi mazhab sendiri ini memiliki karakter yang lebih rasional daripada nahwu mazhab Basrah. Prinsip-prinsip analogi, ta’lil dan lainya yang menjadi karakter nahwu Basrah dikembangkan sedemikian rupa oleh para ahli nahwu Andalusia. Sekedar contoh saja, apabila nahwu Basrah telah melahirkan teori nahwu tentang hukum atau ketentuan-ketentuan tertentu pada sebuah jabatan kalimat, maka nahwu Andalusia akan memperlus ketentuan tersebut. Misalnya dalam kasus “mubtada’ ”, nahwu Basrah telah merumuskan teori dan ketentuan bahwa hukum mubtada’ adalah harus dibaca rafa’, maka nahwu Andalusia akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan lanjutan mengapa ia harus dibaca rafa’, kenapa tidak dibaca nasab saja, apa alasannya, kemudian mereka memberinya alasan-alasan (ta’lîlat) yang panjang lebar. Pertanyaan-pertanyaan lanjutan “kenapa, mengapa” semacam itu dalam tradisi nahwu klasik dengan sebutan “al-Illah al-Tsa niyyah” atau alasan kedua. Diantara para pengkritik terkemuka adalah Ibnu Madha’ al-Qurthubi yang menulis buku “Kita b al- Radd ‘Ala al-Nuhat” (sanggahan atau penolakan atas para ahli nahwu). Buku tersebut menyoroti dan mengkritik berbagai prinsip nahwu, terutama “amil” yang dianggap tidak berperan apa-apa selain membuat rumit nahwu.

5. Mazhab Mesir

Al-Wallad bin Muhammad al-Tamîmî al-Basari terkenal dengan sebutan "alWalla d". Ia adalah ulama yang pertama kali mengajarkan nahwu di Mesir, sebelumnya ia melakukan perjalanan ke Irak, dan belajar kepada al-Khalil bin Ahmad. Selanjutnya muncul Abu Hasan al-A'az, ia adalah murid dari al-Kisai , lalu ia bergabung untuk mengajarkan ilmu-ilmu nahwu di Mesir. Dengan begitu, di Mesir terjadi penggabungan antara dua keilmuan mazhab besar, yaitu mazhab Basrah dan Kufah.

 

*Sumber 

- gambar : https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.kangdidik.com%2F2021%2F08%2Fkisah-imam-sibawaih-berdebat-dengan.html&psig=AOvVaw3vRIfmpFrI6AUSnGKH3gsl&ust=1640008775594000&source=images&cd=vfe&ved=0CAsQjRxqFwoTCIicnYCD8PQCFQAAAAAdAAAAABAK 

SEJARAH PERKEMBANGAN MAZHAB NAHWU ARAB (SEBUAH TINJAUAN HISTORIS) Oleh: Ihsanudin Interdisciplinary Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Melatih keterampilan kalam Bahasa Arab, bagaimana caranya?

 


Keterampilan berbicara merupakan kemampuan mengungkapkan bunyi-bunyi atau kata-kata untuk mengekspresikan pikiran, ide, isi hati atau perasaan kepada pendengar. Keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang sangat urgent dalam berbahasa, sebab keterampilam tersebut yang paling menonjol diantara yang lain.

Keterampilan berbicara dianggap sebagai keterampilan yang sangat penting dalam pembelajaran bahasa Asing, karena berbicara merupakan suatu yang aplikatif dalam bahasa dan merupakan tujuan awal seseorang yang belajar suatu bahasa.

Lalu bagaimana cara kita supaya lancar dalam berbicara bahasa Arab? Tenang saja, kami punya tips yang harus kalian coba nih

1.      Perbanyak kosa kata/ mufrodat Bahasa Arab

Hal ini merupakan keharusan. Kalian bisa menghafal minimal 3 atau 5 kata saja setiap hari. Tidak perlu muluk-muluk , cukup konsisten dengan cara nomor satu ini. Tidak ada pembicara yang tidak punya mufrodat ya teman-teman.

2.      Perbanyak membaca

Kalian cukup membaca artikel atau buku atau apa saja yang berbahasa arab, dengan tujuan kita tahu pola struktur dalam bahasa arab.

3.      Lihat channel youtube tentang Bahasa Arab

Tidak bisa dipungkiri, dizaman sekarang era dimana menonton youtube lebih asyik dibanding menonton tv. Nah, kalau kita ingin pandai dalam berbicara, tidak salah kan kalau kita melihat channel youtube berbahasa arab untuk mendengar atau melihat bagaimana sih logat atau dialek orang arab itu, menarik bukan?

4.      Jangan takut salah

Ketika kita sedang berlatih kalam, jangan takut salah. Jangan takut salah dengan kaidah nahwu-shorof. Yang penting kita paham apa yang kita maksud dan kita bicarakan.

5.      Ciptakan lingkungan berbahasa Arab

Terkadang keinginan hati untuk berbahasa arab kuat sekali, tetapi keinginan itu sedikit demi sedikit luntur karena tidak adanya lingkungan yang mendukung. Mungkin kita yang berada dilingkungan pondok pesantren bahasa akan sangat terbantu, tetapi bagaimana dengan yang tidak? Tentu akan sangat berat. Tetapi kita bisa mencobanya dengan menciptakan lingkungan sendiri lho, caranya cukup sederhana, kita bisa menempelkan tulisan atau menghafal mufrodat yang kita lihat setiap hari, lalu kita mencoba merangkainya membentuk sebuah kalimat/ paragraph. Tentu ini akan membentuk lingkungan sendiri kawan.  

6.      Perbanyak latihan

Point terakhir ini nerupakan point penting dan inti dari semua point diatas. Bahasa itu latihan, bukan belajar teori saja. Kita boleh pandai dalam qiroah maupun kitabah, tetapi kalau kita tak pernah berlatih berbicara, ya tidak mungkin akan lancar dalam berbahasa arab. Seperti pemain bola, setiap hari harus latihan, bergelut dengan bola.

Nah itu tadi beberapa tips yang bisa kita praktekan, intinya adalah jangan patah semangat untuk terus berlatih, semangat kawan.


Islam Nusantara : Wujud Moderasi Islam di Indonesia

 

moderasi beragama


Islam Nusantara adalah Islam yang lahir dan tumbuh dalam balutan tradisi dan budaya Indonesia, Islam yang damai, ramah dan toleran. Gus Dur dengan gagasannya "Pribumisasi Islam" menggambarkan Islam Nusantara sebagai ajaran normatif yang berasal dari Tuhan, kemudian diakulturasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Islam Nusantara berdiri di antara dua paham yang bersebrangan yaitu Liberalisme dan Fundamentalisme.

Islam Nusantara memiliki lima karakter khusus yang membedakannya dengan Islam Arab ataupun Islam lain di dunia. Lima karakter tersebut yaitu pertama, kontekstual, yaitu Islam dipahami sebagai ajaran yang bisa disesuaikan dengan keadaan zaman. Kedua, toleran. Islam Nusantara mengakui segala bentuk ajaran Islam yang ada di Indonesia tanpa membeda-bedakannya. Ketiga, menghargai tradisi. Islam di Indonesia merupakan hasil akulturasi antara budaya lokal dengan ajaran Islam. Islam tidak mengahapus budaya lokal, namun memodifikasinya menjadi budaya yang Islami. Keempat, Progresif. Yaitu suatu pemikiran yang menganggap kemajuan zaman sebagai suatu hal yang baik untuk mengembangkan ajaran Islam dan berdialog dengan tradisi pemikiran orang lain. kelima, membebaskan. Islam adalah sebuah ajaran yang mampu menjawab problem-problem dalam kehidupan masyarakat. Islam tidak membeda-bedakan manusia. Dalam kacamata Islam, manusia dipandang sama, yaitu sebagai makhluk Tuhan. Islam Nusantara adalah cerminan dari ajaran Islam yang membebaskan pemeluknya untuk mencari hukum dan jalan hidup, menaati atau tidak, dengan catatan semua pilihan ada konsekuensinya masing-masing.Kelima karakteristik tersebut pada akhirnya akan membentuk sebuah ajaran Islam yang moderat, yaitu suatu ajaran yang lebih mementingkan perdamaian, kerukunan, dan toleransi dalam beragama tanpa menghilangkan nilai-nilai Islam di dalamnya. Islam moderat merupakan ciri khas dari keberislaman bangsa Indonesia, yang berbeda dengan keadaan Islam di Arab atau belahan dunia lainnya. Islam di Indonesia adalah Islam yang aman, damai dan sejahtera. Aman dalam artian tidak terdapat konflik yang sampai mengancam stabilitas agama dan negara, walaupun tidak menafikkan adanya gesekan-gesekan yang berujung konflik. Damai dalam konteks masyarakat Indonesia yang multikultural, terdiri dari berbagai ras, agama dan budaya yang beragam. Sejahtera yang merupakan manifestasi dari kehidupan yang aman dan damai tersebut.

Moderasi Islam lahir sebagai solusi anti mainstream Islam yang akhir-akhir ini kian menghawatirkan dan membahayakan akidah umat Islam, baik di Indonesia maupun Dunia. Rasulullah saw. pernah bersabda "bahwa umat Islam akan terpecah ke dalam 73 golongan dan hanya ada satu yang akan selamat, yaitu ahlusunnah wal jama’ah."  Hadis Rasulullah saw. tersebut sudah terbukti kebenarannya dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa golongan yang kita kenal dengan aliran Kalam. Sejarah perkembangan aliran kalam dimulai sejak peristiwa tahkim yang melahirkan tiga sekte baru dalam Islam yaitu Khawarij, Syi’ah dan Murji’ah. Tiga sekte Islam tersebut dibahas dalam sebuah kajian ilmu, yaitu Ilmu Kalam. Ada dua aliran Kalam yang sangat mendominasi pemikiran Islam dari dulu hingga sekarang, yaitu Mu’tazilah11 dan Asy’ariyah. Mu’tazilah merupakan aliran kalam terbesar dan tertua dalam sejarah Islam. Aliran ini berdiri pada permulaan abad ke-2 Hijriyah di Basrah. Nama Mu’tazilah sendiri sebenarnya bukan berasal dari golongan Mu’tazilah, namun orang-orang dari golongan lain yang memberi nama Mu’tazilah. Orang Mu’tazilah sendiri menamai kelompoknya dengan sebutan "Ahli keadilan dan keesaan" (ahlu adli wa at-tauhid). Adapun alasan kenapa kelompok lain menamainya dengan sebutan Mu’tazilah, karena Wasil bin Ata’ sebagai pendiri aliran ini berselisih paham dengan gurunya yaitu Hasan al-Basri, kemudian Wasil bin Ata’ memisahkan diri dari pemahaman gurunya dan mendirikan sebuah pemahaman baru. Kemudian Hasan al-Basri berkata "Wasil telah memisahkan diri dari kami", maka semenjak itu Wasil bin Ata’ disebut "Golongan yang memisahkan diri" (Mu’tazilah).Sementara itu aliran Asy’ariyah lahir sebagai reaksi dari aliran Mu’tazilah. Nama Asy’ariyah diambil dari nama pendirinya yaitu Abu al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 260 Hijriyah. Al-Asy’ari pada mulanya menganut paham Mu’tazilah, ia berguru pada tokoh Mu’tazilah, yaitu Abu Hasyim Al-Jubba’i yang merupakan ayah tirinya. Al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah sampai pada usianya yang ke-40 tahun, semenjak itu ia sering merenung sendirian dan membandingkan pemikiranpemikiran Mu’tazilah dengan pemikirannya. Tidak lama kemudian Al-Asy’ari mengumumkan di hadapan orang-orang Mu’tazilah di Basrah, bahwa ia telah meninggalkan aliran Mu’tazilah dengan menyebutkan kekurangan-kekurangannya. Perlu diketahu bahwa aliran Asy’ariyah merupakan aliran yang berdiri di antara golongan rasionalis 15 dan tekstualis16. Al-Asy’ari sebagai pendiri dari aliran Asy’ariyah berusaha mengambil jalan tengah dari dua pemikiran yang berlawanan itu. Al-Asy’ari menyadari betul bahwa kedua paham tersebut sangat berbahaya terhadap stabilitas umat Islam waktu itu, yang bisa menghancurkan mereka kalau tidak segera diakhiri. Ia sangat menghawatirkan alQur’an dan Hadis menjadi korban pemahaman aliran Mu’tazilah yang ditentangnya, karena aliran Mu’tazilah memahami Al-Qur’an dan Hadis berdasarkan pemujaan terhadap akal-pikiran. Lain hal nya dengan Mu’tazilah, Al-Asy’ari juga sangat menghawatirkan AlQur’an dan Hadis dipahami oleh golongan tekstualis, yangmemahaminya dengan pemikiran yang sempit, sehingga dikhawatirkan umat Islam menjadi taqlid buta yang tidak dibenarkan oleh agama Islam. Al-Asy’ari berusaha mengambil jalan tengah di antara dua pemikiran tersebut, maka terbentuklah suatu paham baru yaitu Asy’ariyah, dan ternyata paham ini dapat diterima oleh mayoritas umat Islam di Dunia termasuk Indonesia.

Islam di Indonesia adalah Islam yang menganut paham Asy’ariyah atau ahlusunnah wal jama’ah. Ada dua organisasi Islam yang menjadi ciri khas dari keberislaman di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kedua organisasi Islam tersebut memiliki ciri khas masing-masing. Nahdlatul Ulama memiliki ciri khas pesantren dan ulama, sedangkan Muhammadiyah memiliki ciri khas sebagai lembaga pendidik yang handal dan telah banyak melahirkan cendekiawan-cendekiawan muslim. Baik Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah, keduanya menganut paham Islam yang moderat. Nahdlatul Ulama dengan basis pesantren dan ulamanya menjadi benteng pertahanan yang kokoh untuk menangkal paham liberal atau kebebasan. Sementara Muhammadiyah dengan basis kaum inteleknya diharapkan mampu membawa Indonesia kepada kemajuan dan kejayaan, serta meninggalkan paham Fundamentalis yang sangat mengancam kemajuan suatu bangsa, karena memiliki pemikiran yang sempit dan taklid buta. Islam di Indonesia juga merupakan Islam yang ramah dan santun. Hal ini tergambar dalam individu muslim di Indonesia yang senantiasa hidup bergotong royong dalam masyarakat, saling membantu antar sesama, dan saling menghargai perbedaan (toleransi), serta menghormati kyai dan ulama, yang tergambar dalam sosok santri di Indonesia. Itulah beberapa bukti konkret bahwa Islam di Indonesia adalah Islam yang damai, ramah dan santun, atau dalam kata lain Islam moderat.


Sejarah Pertumbuhan Bahasa Arab

sejarah bahasa arab

Bahasa adalah realitas yang tumbuh dan berkembang seiring dengan manusia pengguna bahasa itu. Bahasa bisa tumbuh, berkembang, dan akhirnya mati sebagaimana penutur bahasa tersebut. Bahasa Arab sendiri adalah salah satu bahasa samiyah yakni bahasa arab kuno, wilayah tempat tinggal mereka dijazirah Arab.

Asal usul bahasa Arab

Secara umum bahasa didunia ini dikelompokkan kepada dua bagian : Tipologi Genitis  dan Tipologi Struktural.

1. Tipologi Genitis

Menurut tipologi ini, pembagian bahasa yang utama yaitu Proto-Indo-Europen dan Chamito-semitiques. Penamaan bangsa Sam diambil dari tiga keturunan nabi nuh yaitu sam, ham, dan yafits. Akan tetapi sam ibn nuh lah yang melakukan perjalanan paling panjang sehingga melahirkan bahasa dan bangsa, diantaranya bangsa Akkadia, Kan’an, Arab, Aram dan Etiopia.

Ditinjau dari segi genetisnya, bahasa arab termasuk rumpun bahasa semit, dan dilihat dari segi geografisnya termasuk bahasa timur dan barat. Lalu bahasa barat terbagi menjadi utara dan selatan.

2. Tipologi Struktural

Pembagian ini dipelopori oleh A. Von Schlegel tahun 1818. Walaupun bahasa-bahasa ini tidak satu rumpun, mungkin bisa dapat digolongkan dalam satu tipologi.

a.                   اللغة العازلة  , bahasa yang tidak berkonjugasi, bentuk katanya tidak berubah-ubah. Seperti bahasa Cina.

b.                  اللغة الالصاقية  , bahasa ini mempunyai prefik dan sufik yang ditambahkan seperti kata dasar, tambahan itu akan berubah arti dengan arti dasarnya, seperti bahasa Indonesia, Jepang, dan Turki.

c.                   اللغة التحليلية  , bahasa yang berubah-ubah bentuk kata dasarnya, seperti Bahasa Arab.

Pertumbuhan dan perkembangan Bahasa Arab

Menurut Anwar G. Chejne data Bahasa Arab secara tertulis masih sangat sedikit bila dibanding dengan bahasa-bahasa lain. Menurut Ali Abdul Wahid Wafiy, sejarah Bahasa Arab yang sampai pada kita sekarang adalah temuan dari prasasti tentang Arab Baidah yang diperkirakan hidup pada abad pertama sebelum masehi, sedangkan Arab Baqiyah setelah abad kelima masehi, sehingga periodisasi pertumbuhan bahasa arab sulit dilacak. Sehingga periodisasi Bahasa Arab dan Sastra Arab hanya terbatas pada masa Jahiliyah, masa munculnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Masa Bani Umayyah dan masa Bani Abbasiyah, masa kemunduran dan masa modern. Berkaitan dengan periodisasi tersebut, yang menjadi pegangan para ahli yaitu sejak zaman jahiliyah, yang mana pada saat itu sudah ada karya-karya sastra arab berupa syi’ir ataupun pidato yang tidak menonjolkan dialek-dialek tertentu dan bahasa yang mudah dipahami. Dari uraian tersebut, sudah jelas bahwa sebelum datangnya Islam Bahasa Arab sudah menjadi lingua franca ( اللغة المشتركة  ) bagi masyarakat Arab.

Perkembangan Bahasa Arab

a.                   Zaman sesudah Islam

Dengan datangnya islam dan turunnya alqur’an, kedudukan bahasa arab standar (fusha) menjadi lebih penting dan menarik perhatian kalangan masyarakat luas. Dengan bertambahnya umat islam menjadi berkembang pula pengaruh bahasa arab dikalangan orang awam. Dari sinilah hubungan Bahasa Arab dengan mulai terjalin.

b.                  Zaman Bani Umayyah Agama Islam

Pada zaman ini, orang-orang arab mulai berasimilasi dengan penduduk asli. Maka terjadilah komunikasi antara orang-orang arab itu dengan penduduk asli untuk memenuhi kebutuhan mereka. Penduduk asli pun mulai belajar bahasa arab, sehingga lahirlah suatu dialek khusus yang mereka gunakan sehari-hari. Pasa saat itu, berbahasa arab yang fasih berarti menunjukkan ketinggian martabat sosial dan sebaliknya menggunakan bahasa lain menunjukkan kerendahan derajat sosial mereka. Untuk menguasai bahasa arab mereka mengirim putera-puteranya ketengah masyarakat badui yang masih murni berbahasa arab.

c.                   Zaman Bani Abbasiyah

Pada saat bani umayyah jatuh, bahasa arab tidak ikut jatuh. Kalau bani umayyah mempunyai hubungan dengan orang badui, pada abad II H, orang-orang baduilah yang didatangkan ke istana sebagai guru bahasa arab. Karena terjadinya asimilasi arab dan non-arab, maka lahirlah bahasa Amiyah yang digunakan orang awam untuk percakapan dan komunikasi diantara mereka. Pada abad III H, bahsa arab Amiyah mulai Nampak jelas dan ada buku-buku ilmiyah yang ditulis dengan bahasa yang kurang murni, sehingga pada pertengahan abad III H bahasa percakapan mulai mengalami kemunduran akibat unsur non-arab menduduki jabatan dan pemerintahan. Pada situasi ini mucullah gagasan baru, para pemerhati menulis buku-buku tentang penggunaan bahasa fushah dikalangan masyarakat. Sehingga pada abad IV H hamper tidak ada lagi orang orang badui yang didatangkan, tetapi bahasa arab mulai dipelajari melalui buku-buku yang mulai tersebar dimana-mana.

d.                  Zaman sesudah abad V

Sesudah dunia arab terpecah-pecah bahasa arab tidak lagi menjadi bahasa pemerintahan, bahasa arab hanya menjadi bahasa agama. Pada abad V H orang orang saljuk berkuasa dan mengumumkan bahasa Persia (Iran) diumumkan sebagai bahasa resmi dan sebagian orang mulai meninggalkan penggunaan bahasa arab. Pada tahun 459 H, kaum saljuk membangun madrasah An Nidzamiyah sebagai perhatian kepada bahasa arab fushah, karena bahasa arab adalah kunci untuk memperdalam agama islam, alqur’an dan Sunnah. Pada abad VI H muncullah lahn ataun kesalahan berbahasa dan membaca alqur’an dan ini sudah menjadi kebiasaan dikalangan masyarakat.

e.                   Zaman Modern

Pada tahun 1798 M setelah napoleon menguasai mesir, mulailah dimesir berkembang pengetahuan modern. Golongan intelektual eropa di Mesir mulai membangun berbagai sarana yang mendorong perkembangan ilmu pengetahuan seperti lembaga ilmu pengetahuan, perpustakaan, sekolah, surat kabar, laboratorium penelitian, percetakan dan lain sebagainya. Sekolah-sekolah dibuka untuk memelajari ilmu pengetahuan, seperti kedokteran, kemiliteran, pertanian, administrasi, bahasa, terjemah dan lain-lain. Kuliah-kuliah yang diberikan juga disampaikan dalam bahasa arab setelah melalui penerjemahan. Inilah salah satu langkah yang berhasil dilaksanakan dalam upaya mengatasi kemunduran bahasa arab, dan sekaligus menjadi pondasi untuk perkembangan bahasa arab. Periode modern tahun 1800 sampai sekarang merupakan zaman kebangkitan umat islam dan menyadarkan umat islam bahwa dibarat telah timbul peradaban baru yang lebih unggul dan menjadi ancaman bagi umat islam. Pda periode inilah tumbuh pembaharuan-pembaharuan dalam islam. 

 

PENTINGNYA BELAJAR BAHASA ARAB

bahasa arab

Sebagaimana yang telah menjadi keyakinan dalam diri kita bahwa jalan yang memberi kita jaminan keselamatan dan kenikmatan Islam adalah satu dan tidak berbilang-bilang. Jalan tersebut yaitu mengilmui dan mengamalkan ajaran Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dipahami oleh para sahabatnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ، لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ

“Aku tinggalkan sesuatu bersama kalian, jika kamu berpegang teguh padanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ 2/899)

Dan Allah Ta’ala telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an karena bahasa Arab adalah bahasa terbaik yang pernah ada. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, 

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya Kami telah jadikan Al-Quran dalam bahasa Arab supaya kalian memikirkannya.” (QS. Yusuf [12]: 2)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat di atas,

”Karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, paling jelas, paling luas, dan paling banyak pengungkapan makna yang dapat menenangkan jiwa. Oleh karena itu, kitab yang paling mulia ini (yaitu Al-Qur’an, pen.) diturunkan dengan bahasa yang paling mulia (yaitu bahasa Arab, pen.).”

Oleh karena itu tidak perlu diragukan lagi, memang sudah seharusnya bagi seorang muslim untuk mencintai bahasa Arab dan berusaha menguasainya. Hal ini ditegaskan oleh firman Allah Ta’ala,

وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ (192( نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ (193) عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (194( بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ (195(

“Dan sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Pencipta Semesta Alam,  dia dibawa turun oleh Ar-ruh Al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy-Syu’ara [26]: 192-195)

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat di atas,

”Bahasa Arab adalah bahasa yang paling mulia. Bahasa Rasul yang diutus kepada mereka dan menyampaikan dakwahnya dalam bahasa itu pula. Bahasa yang jelas dan gamblang. Dan renungkanlah bagaimana berkumpulnya keutamaan-keutamaan yang baik ini. Al-Qur’an adalah kitab yang paling mulia, diturunkan melalui malaikat yang paling utama, diturunkan kepada manusia yang paling utama pula, dimasukkan ke dalam bagian tubuh yang paling utama, yaitu hati, untuk disampaikan kepada umat yang paling utama, dengan bahasa yang paling utama dan paling fasih yaitu bahasa Arab yang jelas.” [3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“Sesungguhnya ketika Allah menurunkan kitab-Nya dan menjadikan Rasul-Nya sebagai penyampai risalah (Al-Kitab) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta menjadikan generasi awal agama ini berkomunikasi dengan bahasa Arab. Maka tidak ada jalan lain dalam memahami dan mengetahui ajaran Islam kecuali dengan bahasa Arab. Oleh karena itu, memahami bahasa Arab merupakan bagian dari agama. Keterbiasaan berkomunikasi dengan bahasa Arab mempermudah kaum muslimin memahami agama Allah Ta’ala dan menegakkan syiar-syiar agama ini, serta memudahkan dalam mencontoh generasi awal dari kaum Muhajirin dan Anshar dalam keseluruhan perkara mereka.”

Beliau rahimahullah juga berkata,

“Dan sesungguhnya bahasa Arab itu sendiri bagian dari agama. Hukum mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah itu wajib, dan keduanya tidaklah bisa dipahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Hal ini sesuai dengan kaidah di dalam ilmu ushul fiqh: sebuah kewajiban yang tidak akan sempurna (pelaksanaannya) kecuali dengan melakukan sesuatu (yang lain), maka sesuatu yang lain tersebut hukumnya juga menjadi wajib. Namun di sana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah.” [5]

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan,

فعلى كل مسلم أن يتعلم من لسان العرب ما بلغه جهده حتى يشهد به أن لا إله إلا الله وأن محمد عبده ورسوله ويتلوا به كتاب الله

“Maka wajib atas setiap muslim untuk mempelajari bahasa Arab sekuat kemampuannya. Sehingga dia bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah Ta’ala dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan dengannya dia bisa membaca kitabullah … “

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa Arab adalah bahasa agama Islam dan bahasa Al-Qur’an. Kita tidak akan bisa memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman yang benar dan selamat (dari penyelewengan) kecuali dengan bekal bahasa Arab. Menyepelekan dan menggampangkan bahasa Arab akan mengakibatkan lemah dalam memahami agama serta jahil (bodoh) terhadap berbagai permasalahan agama. 


 
Copyright © 2014 ROHMAN Pedia. Designed by Abdul SEO | Distributed By Fathur rohman-063