Aliran Basrah dan Kufah merupakan dua aliran yang paling
berpengaruh, karena keduanya mempunyai otoritas dan independensi yang tinggi,
kedua aliran tersebut juga mempunyai pendukung yang banyak dan fanatik,
sehingga mampu mewarnai aliran-aliran berikutnya. Adapun tiga aliran yang lain
disebutnya sebagai aliran turunan yang berinduk pada salah satu aliran utama
atau merupakan hasil paduan antara keduanya.
1. Mazhab Basrah
Basra atau al-Basrah (البصرة ) adalah kota terbesar kedua di Irak, terletak sekitar 545 km dari Bagdad. Awal
berdirinya Basrah dimulai pada abad 16. Pertumbuhan ilmu nahwu secara pesat di
Basrah, terdapat empat faktor, diantaranya:
(1) Letak geografis yang strategis dan berada di pinggir pedalaman,
seringkali dijadikan tujuan para ilmuwan melakukan perjalanan, seperti: Khalil
bin Ahmad, Yunus bin Habib, Nadarbin Syamil, dan Abu Zaid al-Ansari. Adakalanya
mereka bertemu penduduk asli atau membawa orang badui ke kota.
(2) Stabilitas masyarakat, di Basrah tidak ada konflik politik,
pergeseran antar mazhab, dan kerusuhan antar kelompok sosial.
(3) Pasar Mirbad, dulunya pasar mirbad terbatas untuk perdagangan
unta. Namun, seiring berjalannya waktu, pasar tersebut digunakan untuk ajang
orasi puisi. Penamaan Mirbad karena unta tersebut ditinggalkan. Oleh karena itu
tempat untuk menambatkan unta disebut Mirbad. Pasar ini dapat menyaingi para
penyair di Ukaz.
(4) Masjid Basrah, digunakan untuk pengajian ilmiah, seperti kajian
tafsir, ilmu kalam, dan bahasa.
Mazhab Basrah adalah mazhab yang dianggap tertua dalam
aliran-aliran nahwu yang ada. Hal ini karena embrio ‘Ilmu Nahwu’, kelahiran
hingga pertumbuhannya bermula dari kota tersebut. Berbagai teori dan
prinsip-prinsip ilmu tersebut juga digagas dan muncul dari sana. Para tokoh
terkemuka perintis awal seperti Abu alAswad al-Du’ali hingga tokoh terkemuka
cabang pengetahuan ini semisal Khalil bin Ahmad al-Farahidi, Sibawaih dan
lainnya juga tinggal di kota tersebut.
2. Mazhab Kufah
Kufah (الكوفة (merupakan sebuah
kota di Iraq. Terletak 10 km di timur laut Najaf dan 170 km di selatan Bagdad.
Mazhab nahwu Kufah baru muncul sekitar 100 tahun. Hal ini disebabkan ulama
Kufah lebih konsen pada ilmu keislaman, seperti fikih, hadis, qira'at dibanding
ulama Basrah yang serius mendalami ilmu nahwu. Mazhab Kufah lebih unggul dari
mazhab Basrah dalam bidang pen-syairan. Selain itu, metode yang dipakai oleh
mazhab Kufah adalah studi lapangan. Artinya para ulama nahwu Kufah
memperhatikan kalam Arab yang sehari-hari mereka gunakan, kemudian mereka
menggunakan gaya bahasa/ uslub yang mayoritas masyarakat Arab dipakai. Hal ini
berbeda dengan mazhab Basrah yang lebih ketat, mereka lebih menggunakan akal,
menggunakan mantiq serta sumber-sumber filsafat.
Sedangkan Abd al-‘Al Salim Mukrim menyimpulkan ciri khas nahwu yang
diusung mazhab Kufah sebagai berikut22: (a) Menjadikan berbagai dialek Arab
yang bertahan di daerah pedalaman sebagai rujukan tau dalil konsep bahasa. (b)
Menjadikan kasus berbahasa yang meskipun kurang populer (jarang terjadi)
sebagai qiyas atau rujukan dan alasan konsep mereka. (c) Menjadikan puisi baik
puisi pada zaman pra Islam (Jahiliyah) maupun puisi pada masa Islam sebagai
rujukan konsep bahasamereka meskipun mereka hanya menemukan sebuah bait puisi
saja. (d) Merujuk pada berbagai macam atau ragam bacaan (al-Qira ’a t) yang
telah ada. (e) Merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an dalam porsi yang lebih besar
daripada mazhab Basrah.
3. Mazhab Bagdad
Selain dua kota Basrah dan Kufah yang menjadi pusat kebudayaan dan
intelektual Irak, saat itu muncul sebuah kota baru yang menjadi pesaing pusat
intelektual dua kota yang telah berdiri lebih dahulu, yaitu kota Bagdad. Kota
Bagdad ini didirikan dan dibangun oleh al-Manshur Billah Abu Ja’far Abdullah
bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthallib atau yang lebih
dikenal dengan nama Abu Ja’far al-Manshur, khalifah kedua dinasti Abbasiyyah.
Namun sebenarnya rencana pendirian kota teresebut telah dicanangkan oleh
saudaranya Abul Abbas al-Saffah, dan pembangunannya dimulai pada tahun 125 hijriah
dan mulai ditempati pada tahun 129 H.
Imigrasi para intelektual ke Bagdad ini dimulai oleh para
intelektual Kufah yang memang jarak antara kedua kota tersebut relatif lebih
dekat dari pada jarak antara Basrah dengan Bagdad. Mereka yang berimigrasi ke
Bagdad ini oleh para penguasa diberi posisi terhormat dan sangat dihargai yang
pada akhirnya bukan saja penghormatan tinggi ini dirasakan oleh para
intelektualnya, tetapi sekaligus juga mengangkat citra dan pamor mazhab Kufah
yang selama ini kalah citranya dengan mazhab Basrah.
Menyaksikan realitas ini, maka para intelektual Basrah pun banyak
yang berminat meninggalkan kotanya untuk mencari posisi dan penghormatan
seperti yang telah diraih oleh rival mereka dari Kufah. Hal ini tentu semakin
meramaikan kota Bagdad, khususnya di aspek keintelektualan. Pada mulanya para
intelektual imigran dari dua kota yang telah lama bersaing itu, membawa bendera
dan segala keciri khasan masing–masing kota asalnya dan tetap mengembangkan
persaingan yang telah lama ada sebelum akhirnya sama-sama menyadari perlunya
mengakhiri persaingan tersebut di kota baru mereka.
4. Mazhab Andalusia
Ketika Islam masuk di Andalusia terlebih dahulu masyarakatnya
belajar dan mengajarkan bahasa Arab. Aktivitas ilmiah baru terasa ketika bergantinya
daulah Umayah di Andalusia (sekarang Spayol) diprakarsai oleh Abdurrahman al-Da
khil pada tahun 138 H. Orang-orang Andalusia melakukan perjalanan ke Timur
untuk mencari ilmu.
Nahwu yang berkembang di Andalusia semula adalah mazhab Kufah dan
baru di penghujung abad ke tiga hijriah mazhab Basrah banyak mendapat
perhatian, menyusul kemudian nahwu mazhab Bagdad juga mendapatkan pengaruhnya
di sana. Namun demikian, oleh karena di Andalusia pada saat yang bersamaan juga
sedang berkembang pengetahuan spekulatif (filsafat, manthiq dan kalam), maka
nahwu mazhab Basrah yang memiliki karakter rasional lebih diminati dan lebih
berkembang dibanding nahwu model mazhab Kufah. Bahkan nahwu yang berkembang di
Andalusia yang kemudian menjadi mazhab sendiri ini memiliki karakter yang lebih
rasional daripada nahwu mazhab Basrah. Prinsip-prinsip analogi, ta’lil dan
lainya yang menjadi karakter nahwu Basrah dikembangkan sedemikian rupa oleh
para ahli nahwu Andalusia. Sekedar contoh saja, apabila nahwu Basrah telah
melahirkan teori nahwu tentang hukum atau ketentuan-ketentuan tertentu pada
sebuah jabatan kalimat, maka nahwu Andalusia akan memperlus ketentuan tersebut.
Misalnya dalam kasus “mubtada’ ”, nahwu Basrah telah merumuskan teori dan
ketentuan bahwa hukum mubtada’ adalah harus dibaca rafa’, maka nahwu Andalusia
akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan lanjutan mengapa ia harus dibaca rafa’,
kenapa tidak dibaca nasab saja, apa alasannya, kemudian mereka memberinya
alasan-alasan (ta’lîlat) yang panjang lebar. Pertanyaan-pertanyaan lanjutan
“kenapa, mengapa” semacam itu dalam tradisi nahwu klasik dengan sebutan
“al-Illah al-Tsa niyyah” atau alasan kedua. Diantara para pengkritik terkemuka
adalah Ibnu Madha’ al-Qurthubi yang menulis buku “Kita b al- Radd ‘Ala al-Nuhat”
(sanggahan atau penolakan atas para ahli nahwu). Buku tersebut menyoroti dan
mengkritik berbagai prinsip nahwu, terutama “amil” yang dianggap tidak berperan
apa-apa selain membuat rumit nahwu.
5. Mazhab Mesir
Al-Wallad bin Muhammad al-Tamîmî al-Basari terkenal dengan sebutan
"alWalla d". Ia adalah ulama yang pertama kali mengajarkan nahwu di
Mesir, sebelumnya ia melakukan perjalanan ke Irak, dan belajar kepada al-Khalil
bin Ahmad. Selanjutnya muncul Abu Hasan al-A'az, ia adalah murid dari al-Kisai
, lalu ia bergabung untuk mengajarkan ilmu-ilmu nahwu di Mesir. Dengan begitu,
di Mesir terjadi penggabungan antara dua keilmuan mazhab besar, yaitu mazhab
Basrah dan Kufah.
*Sumber
- SEJARAH PERKEMBANGAN MAZHAB NAHWU ARAB (SEBUAH TINJAUAN HISTORIS) Oleh: Ihsanudin Interdisciplinary Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta